Medan, JournalisNEWS.com – Terjadinya kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Tanggerang, tepatnya di Blok C yang dihuni oleh narapidana kasus narkoba berakibat meninggalnya 41 korban jiwa dinilai sebagai suatu kegagalan dalam konteks perawatan dan pemeliharaan Lapas. Hal itu disampaikan oleh pengamat hukum dan sosial Sumut Eka Putra Zakran, SH MH (foto) kepada awak media pada Rabu, (8/9) di Medan.
Jika benar penyebab kebakaran di Lapas Tanggerang terjadi akibat jaringan listrik seperti yang disampaikan Menteri Hukum dan HAM Yassona Louly kepada media, tentu ini sangat kita disesalkan. Artinya peristiwa merupakan suatu kegagalan dari pihak Lapas dalam konteks perawatan dan pemeliharaan lapas,ākata Eka.
Kabarnya banyak sekali korban jiwa dalam peristiwa kebakaran tersebut, diantaranya 41nyawa melayang, 8 luka berat dan 31 luka ringan. Terus pertanyaanya bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap 41 korban meninggal? .
Persoalan di Lapas Tanggerang Banten yang berlokasi di jalan Veteran sepertinya bukan hanya soal korsleting atau arus pendek listrik tapi juga termasuk soal over kapasitas. Bahkan lebih parahnya lantai dua roboh, sehingga menimpa para penghuni Lapas.
Kenapa penting saya soroti permasalaha ini, karena banyak korban meninggal. Disamping itu kebetulan judul Tesis saya tentang Perlindungan Kesehatan Terhadap Narapida (Studi di Lapas Kelas 1 Medan). Jadi sedikit banyak saya sangat prihatin atas peristiwa yang menimpa saudara kita para narapi di Lapas Tanggerang Banten tersebut.
Perlindungan Kesehatan terhadap narapidana merupakan hal yang sangat penting. Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Hal ini terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, termasuk didalamnya jaminan kesehatan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Selain itu, setiap orang harus patuh pada protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah terkait wabah Covid-19 sebagai bencana non-alam secara nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana Nasional.
Pesan tersirat bahwa keselamatan manusia menjadi hukum yang paling tinggi. Meminjam istilah Cicero filsuf kebangsaan Italia, solus suprema lex esto, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara.
Sebenarnnya belakangan ini salah satu isu nasional yang ramai diperbincangkan adalah tentang pembebasan narapidana ditengah kondisi Indonesia yang sedang mengalami pandemi Covid-19. Pro kontra menyeruak diberbagai kalangan masyarakat pasca Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly mengumumkan kebijakan tersebut.
Berbagai opini dan asumsi kemudian ramai menghiasi media sosial, mulai dari penolakan pembebasan atas dasar kriteria tertentu, hingga ketakutan masyarakat akan tindak pidana baru yang berpotensi dilakukan para narapidana pasca dibebaskan tersebut. Tapi entah mengapa di Lapas Kelas 1 Tanggerang justru over kapasitasnya sampai 400 persen. Nah kondisi seperti ini sangat kita sesalkan.
Intinya, Kemenkumham harus bertanggung jawab. Kemudian wajib dilakukan investigasi dan evaluasi. Jika daoam peristiwa kebakaran ini ada unsur kelalaian dari pimpinana atau pejabat Lapas, maka harus diproses hukum. Artinya aparat yang lalai dapam tugas sudah semestinya juga diberi sanksi hukum.
Hukum kan dibuat bukan hanya untuk masyarakat, tapi juga untuk petugas atau aparat hukum. Apalagi ini menyangkut 41 nyawa narapidana melayang. Terkait pengawasan, perawatan dan/atau pemeliharaan Lapas, sejatinya bukan hanya ketika muncul masalah, tapi harus sejak dini.
Kalau menunggu jatuh korban dulu baru berbenah itu sudah kaji lama, gak ada terobosan dong. Percuma bolak balik dikampanyekan istilah reformasi birokrasi serta good and governance (pemerintahan yang baik dan bersih).
Soalnya, korban kebakaran di Lapas Tanggerang Banten ini gak tanggung-tanggung, 41 orang tewas, belum lagi yang luka berat dan ringan tentu ini sangat, memprihatinkan, tutup Eka anggota DPC Peradi Medan dan Ketua Pemuda Muhammadiyah Medan Periode 2014-2018 yang kerap mengkritisi kebijakan publik itu. (Abd Halil)