Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia semakin hari kian memprihatinkan. Saling kuntit-mengunti antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya kian terasa bak piring kaca yang mulai retak, tinggal menunggu tanggal berseraknya.
Semangat Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika sejatinya harus tetap menggelora dan menjadi pegangan atau pedoman hidup bersama anak bangsa, tanpa merasa paling hebat dan mengecilkan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) tertentu.
Prinsip hidup rukun dan saling menghargai satu sama lain serta menghidupkan semangat toleransi harus dipertahankan demi masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). NKRI harga mati tidak cukup hanya sebatas simbol dan teriakan atau life service semata, tapi lebih jauh dari itu harus diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Indonesia saat ini bak piring kaca retak seribu, sedikit saja salah dalam melangkah, maka akan berserakan seperti pasir dibibir pantai. Trend yang tidak menarik saat ini antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya adalah saling lapor-melapor. Sementara persoalannya tidak jarang hanya remeh-temeh, yang sejatinya dapat diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat atau kekeluargaan, tapi karena nafsu dan ambisi harus berujung jeruji besi. Hal ini jelas miris dan memprihatinkan.
Trend yang tidak menarik lainnya adalah saling lapor terhadap para pemuka agama (Ulama) atau pemuia agama tertentu lainnya. Sepintas memang seperti ada yang sengaja melakukan penodaan atau penistaan terhadap agama tertentu dan pelaku terkesan nendapat perlindungan (bekapan) dari elit atau penguasa.
Sementara itu, ada Ulama yang sengaja dikuntit atau dicari-cari salah dan khilafnya, yang semestinya bukan masuk kategori menghina, tapi mau di framing seolah-olah telah menghina agama tertentu, semacam dibidik dan ingin dijadikan tumbal peradaban, di kekang, diburu dan dimasukkan ke dalam penjara penguasa.
Menyikapi semakin maraknya desakan untuk menangkap Ustad Abdul Somad (UAS) dari kelompok tertentu, hemat saya desakan ini sangat tidak tepat dan semacam mencabik-cabik hati dan perasaan umat Islam yang notabene mayoritas di negeri ini.
Sesungguhnya bukan hanya soal mayoritas, tapi soal betapa mundurnya pemikiran anak bangsa di zaman canggih era digital 4.0 ini. Pendeknya, mengapa para ulama yang disasar, seolah diincar ingin dijadikan tumbal.
Sungguh kenyataan seperti ini merupakan suatu hal yang membuat miris dan sangat memprihatinkan. Semoga hukum masih berada pada posisi yang tinggi, sehingga hukum dapat melindungi tanpa intervensi daribpihak manapun. Semoga. (*)
Penulis : Eka Putra Zakran, SH, MH (Praktisi Hukum)